Friday, April 2, 2010

sahabatku, Ina

Ketika masih anak kecil, saya mempunyai seorang rekan yang bernama Ina. Saya suka berkawan dengan Ina karena Ina merupakan seorang gadis yang baik hati, ringan tangan, dan lemah lembut. Saya merasa kagum dengan Ina karena saya tidak pernah berjumpa seseorang yang bersifat wanita sejati sepertinya. Selain itu, Ina juga merupakan seorang anak murid yang bijak bestari. Dia sering mendapat tempat pertama di dalam ujian. Semua guru pasti akan memuji Ina. Saya merasa bangga menjadi teman akrab Ina karena Ina disukai banyak orang.

Tetapi Ina selalu merasa rendah diri. Dia merasakan dirinya tidak sempurna karena menganggap dirinya hitam legam dan tidak cantik rupawan seperti rekan yang lain. Dia juga sering berkata bahawa dirinya kotor. Saya selalu menegur Ina karena saya tidak merasakan rupa luaran itu lebih penting daripada yang di dalam. Setiap kali, Ina akan melemparkan senyumannya yang manis dan memeluk saya dengan erat. Saya sangat menyayangi Ina. Tiada siapa yang dapat menggantikan Ina.

Pada suatu hari, Ina tidak pergi ke sekolah. Saya menyangka Ina tidak sehat karena Ina sering hadir ke sekolah. Katanya, badannya lemah dan selalu terkena demam selsema. Walau bagaimanapun, sejak hari itu, Ina tidak lagi datang ke sekolah. Saya merasa sangat susah hati karena saya tidak tahu bagaimana harus berhubungan dengan Ina. Saya tidak mempunyai nomer telefon Ina dan saya tidak tahu rumahnya di mana.

Rupa-rupanya, Ina merupakan mangsa dera ayahnya. Ayahnya selalu memukulnya dan mencaci Ina dengan kata-kata kejam seperti hodoh, hitam dan sebagainya. Ayahnya adalah kaki botol atau pemabuk dan selalu meminta uang dari ibunya. Karena Ina merupakan anak pertama, dia selalu dipaksa bekerja untuk membeli arak untuk ayahnya. Paling menyedihkan, Ina terpaksa membuat pekerjaan yang terkutuk demi keluarganya.

Disebabkan pihak sekolah telah mendapat aduan, Ina terpaksa diberhentikan dari sekolah. Saya menangis ketika mendengan cerita Ina. Saya memarahi diri saya karena tidak pernah mencari tahu tentang Ina.Ketika itu, baru saya merasakan bahwa saya ini rekan yang teruk atau buruk. Saya merasa malu dengan diri saya. Sejak hari itu, saya tidak pernah lagi berjumpa dengan Ina. Walaupun begitu, saya tidak akan melupakan Ina karena dia adalah rekan yang terbaik yang pernah saya jumpai.

3 comments:

  1. Sedih juga membaca cerita Anda tentang Ina. Saya kadang juga tidak habis pikir mengapa ada orang tua yang suka menyiksa anaknya, baik dengan siksaan fisik maupun verbal. Semestinya ada perlindungan untuk anak-anak seperti Ina, ya. Apakah di Malaysia ada undang-undang perlindungan anak, dan apakah ada badan pemerintah atau lembaga swasta seperti LSM yang khusus mengurusi anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (domestic abuse)?

    ReplyDelete
  2. Sarah, terima kasih sudah berbagi cerita tentang Ina. Hal yang menarik buat saya adalah keputusan sekolah untuk menghentikan Ina dari sekolah. Padahal Ina melakukan tindakan tersebut dibawah paksaan. Berbicara lebih luas lagi, banyak kaum wanita yang "terpaksa" melakukan pekerjaan-pekerjaan "tertentu" karena dibawah paksaan, baikan paksaan dari orang lain atau paksaan ekonomi. Sayangnya "korban" seperti Ina nasibnya tidak baik sekali, sudah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, masih juga menerima keputusan diberhentikan dari sekolah. Sama seperti misalnya para pelacur wanita, sudah terpaksa bekerja karena tuntutan ekonomi, masih pula dikejar-kejar aparat polisi dan masih juga dikucilkan oleh masyarakat.

    ReplyDelete
  3. ya saya setuju dengan embak ira di atas.
    mengapa Ina harus diberhentikan dari sekolah.
    itu bukan kehendaknya.

    ReplyDelete